Beberapa orang tua bahkan membatasi campuran MSG dalam makanan anak karena mereka percaya micin bisa menurunkan kepintaran.
Alhasil penggunaan MSG mulai dihindari dan orang-orang mencari alternatif penyedap rasa lain, seperti kaldu sapi atau kecap asin.
Hal ini juga diperkuat dalam sebuah laporan pada tahun 2018 di AS yang mendapati 4:10 orang menghindari campuran MSG pada makanan mereka.
Lantas, bagaimana awal mula sejarah MSG mendapat label buruk di mata konsumen?
Semuanya bermula pada tahun 1968 ketika sebuah surat muncul di New England Journal of Medicine yang konon ditulis Dr. Robert Ho Man Kwok.
Dia menyatakan keprihatinan bahwa makanan China telah membuatnya sakit dan berpendapat micin mengakibatkan gejala buruk, seperti sakit kepala, pusing, mati rasa, dan kelemahan.
Sayangnya kabar itu adalah kebohongan semata setelah terungkap fakta bahwa surat tersebut ditulis oleh seorang penipu sebagai candaan.
Namun, para peneliti pada saat itu meyakini anggapan tersebut dan memercayainya.
Termasuk melakukan studi tahun 1969 pada tikus yang diberi micin dalam jumlah tinggi.
Dari riset tersebut ditarik kesimpulan bahwa micin dapat mengakibatkan kerusakan otak, obesitas, dan gangguan endokrin.
Studi lebih lanjut juga mengklaim, penyedap rasa ini dapat menyebabkan masalah pada jantung dan hati, perubahan perilaku, bahkan tumor.
Saat mitos buruk yang mengkhawatirkan ini menyebar ke publik, MSG lantas diyakini banyak orang sebagai bahan makanan yang harus dihindari.
Kendati demikian, belum ada kesepakatan di antara para ahli gizi soal keamanan MSG dan banyak dari mereka yang ingin menghilangkan stigma buruk soal penyedap rasa ini.
Banyak yang mengatakan, menghindari micin berkaitan pada keyakinan usang, bahkan mungkin isu rasisme anti-Asia.
Tetapi beberapa ahli gizi tetap tidak sependapat, termasuk saat iklan email yang disponsori produsen MSG Ajinomoto dikirim kepada anggota Academy of Nutrition and Dietetics.
Iklan itu berisi dorongan agar para konsumen untuk menggunakan micin sebagai penyedap rasa pengganti garam.
Penelitian seputar MSG
Pada kenyataannya, banyak penelitian awal tentang micin memiliki kekurangan secara signifikan.
Menurut sebuah studi tahun 2020 sebagian besar penelitian yang menunjukkan efek berbahaya MSG, penuh dengan desain yang kurang elok, dan ukuran sampel yang kecil.
Banyak penelitian juga memberi subjek jumlah micin yang sangat tinggi, dan tidak sesuai dengan takaran dalam makanan normal.
Lebih banyak penelitian terbaru justru mengemukakan temuan yang berbeda dan jauh lebih positif.
Bahkan Food and Drug Administration (FDA) AS berani memasukkan MSG dalam kategori Generally Recognized As Safe atay GRAS.
GRAS merupakan pernyataan aman bagi bahan tambahan pangan -termasuk pemanis buatan- untuk ditambahkan ke dalam produk pangan sesuai jumlah CPPB.
FDA menyatakan, sains belum mampu secara konsisten mengungkapkan pemicu gejala buruk dari konsumsi micin.
Menariknya, pernyataan FDA itu berlaku juga untuk orang-orang yang mengaku sensitif terhadap MSG.
Lebih lanjut, sebuah tinjauan sistematis tahun 2016 dalam Journal of Headache Pain tidak menemukan korelasi antara makanan tinggi MSG dengan sakit kepala.
Walau beberapa klaim soal MSG, misalnya dapat menyebabkan kematian sel-sel otak, bukti ilmiah menunjukkan bahwa micin tidak melewati sawar darah-otak.
Ada pun penambahan berat badan yang disebut sebagai masalah yang dipicu MSG, tidak sepenuhnya jelas berdasar penelitian ini.
Menurut ulasan tahun 2019, beberapa penelitian melaporkan makanan tinggi micin dapat meningkatkan rasa lapar, bahkan meningkatkan obesitas. Namun yang lain menunjukkan efek sebaliknya.
Faktor penentu apakah micin membuat seseorang lebih kenyang atau lebih lapar mungkin disebabkan oleh kandungan makronutrien dari makanan.
Sensitivitas micin
MSG dianggap aman untuk sebagian besar orang tetapi urang dari satu persen dari populasi umum diperkirakan memiliki sensitif terhadap MSG.
Mereka yang masuk kategori ini bila makan dalam jumlah besar akan merasa pusing, sakit kepala, kesulitan bernapas, atau mati rasa.
Jika terus-menerus mengalami gejala seperti ini, sebaiknya kurangi konsumai makanan yamg tinggi MSG.
Perlu diketahui juga, banyak makanan utuh seperti tomat, jamur, dan keju secara alami mengandung monosodium glutamat.
Dalam hal ini tubuh tidak membedakan antara bentuk MSG secara alami dan sintetis. Jadi, orang yang sensitif terhadap MSG harus menghindarinya.
Manfaat MSG
Nah, bertolak belakang dari keyakinan yang ada selama ini, micin malah disebut bisa berdampak positif pada diet karena rasanya yang gurih.
MSG juga dapat menjadi alternatif penyedap rasa selain garam, walau hanya mengandung 1/3 natrium dari garam meja.
Sementara itu, sebuah studi studi tahun 2017 dalam jurnal Food Science and Nutrition menemukan, dalam makanan olahan dan buatan sendiri, MSG dapat mengurangi natrium tanpa memengaruhi persepsi rasa asin.
Baca Artikel Lainya
0 Komentar
Terimakasih Atas Kritik Dan Sarannya